(Chendri list)
Kini matahari sudah tinggi memucuk di puncak lembah mandalawangi, bayangan lelaki muda tampak condong mengikuti laju kakinya dari belakangnya, ia berjalan menyusuri rimbunan semak belukar dari satu hutan kehutan yang lain. Tubuhnya kurus tak terurus di bahunya terkulai rambut panjang, raut mukanya tampak tumbuh beberapa helai rambut dan jenggot di janggutnya, mata yang lebar menyala namun di sisinya tak berisi. Sejenak dia berhenti di sebuah gubuk di tengah hutan, di situ tak ada orang satupun hanya dia dan kucing hitam yang dari tadi mengikutinya, bibirnya tampak kering memucat, sudah satu malam perutnya belum terisi, perutnya berbunyi seperti genderang berdentung tampak terdengar sekali. Berlahan ia berjalan kembali mencari anak sungai atau sumber air untuk di minumnya, namun sudah hampir menjelang senja belum juga ia mendapatkannya, raut mukanya menggambarkan rasa putus asa dan lelah yang sangat, nafasnya sudah mulai tersendat, mukanya sudah lebih memucat, kakinya mulai bergetar menahan beban untuk berjalan, langkahnya mulai begitu melambat semakin melambat lalu ia jatuh tersungkur di antara semak hutan tak sadarkan diri. Langitnya hitam bulan tak lagi purnama sudah tampak sedikit termakan waktu, suara burung malam memekik kesunyia, lelaki muda belum juga sadarkan diri. Suara kesunyian hutan begitu kental seiring menyurakan suara alam, tak ada gelak tawa para penguasa tak ada pula tangisan anak-anak yang di landa kelaparan hanya ada sang pemuda yang tersungkur lemas tak sadarkan diri, sedikit-demi sedikit di langit bintang mulai menampakan dirinya di atas rimbunan pohon-pohon yang besar. Kaki sang pemuda tampak terkulai, sedikit-demi sedikit gerakan tubuhnya sudah ia tampakan, matanya mulai membuka berlahan-lahan sedikit demi sedikit hitam bola matanya tampak di penuhi kepuhan air mata, secepat itu tubuhnya mulai menggigil kedinginan, mulutnya mulai membuka dan tampak ada cahaya kuning dari langit masuk di atas ubun-ubunya dan ia terjatuh kembali, sejenak tubuh lemahnya berdiri gagah seakan tak mempunyai rasa lapar, mulutnya membuka dan mengucapkan kata
“ Wahai pengusa hutan dan seisinya, lembahmu begitu terjal mengapa kau senang hidup di sini, tak ada alas permadani tak ada minuman yang diperas dari anggur dan di masukan di dalam cawan emas, apa kau tak bosan? Langkah ku kerap temuai sagala ilalang dan tak ada orang tak ada kawan hanya si kucing hitam yang menemaniku dari tadi.”
Si kucing hitam seakan tau apa maksud pembicaraan lelaki itu, namaun ia hanya bisa diam, leleki itu kini diam dan menatap si kucing hitam dalam fikiranya ia bertanya andai saja si kucing bisa ku ajak bicara tentu ia tak akan bosan menempuh perjalannan yang tak tau akan berakhir. Si kucing hitam kini berjalan ke atas bukit seakan menunjukan arah jalan yang harus di lalui, kakinya tak henti melompat dari kanan ke kiri dan mengeong serasa memberi isyarat untuk sang lelaki agar di mengikutinya, sang lelekipun menatap begitu heran ia bertanya dalam hati “apa yang kucing itu ingini dari ku?” ia tak menunggu lama untuk mengikuti si kucing, di jari tangan sang leleki tergenggam kayu panjang yang ia pungut tadi sewaktu ia berbicara, langkah demi langkah ia percepat untuk mengejar arah si kucing, tapi tatapanya tak mendapati si kucing hitam berada, ia pun mencarinya di sekitar jalan yang tadi di laluinya tapi tak mendapatinya. Tubuh sang lelaki kini bergetar bibirnya tangkupan bibirya membuka “ Wahai kau yang membawa aku kemari, kenapa kau curi satu-satunya teman yang aku miliki di sini, apa kau iri padaku?lekas kembalikan ia di hadapanku? Kalau tidak akan ku koyak dan kuhancurkan segala yang kau punya” Sang lelaki tak mendapati jawaban yang ia lontarkan kepada penguasa hutan hanya suara sunyi yang ia dengar dan siulan burung hantu.
“Apakah kau tuli, bisu dan tak berdaya untuk kembalikan temanku kucing hitam kemari, kau ambil ia dariku tanpa permisi seperti pencuri ulung yang setiap saat bisa juga menikam dan membunuhku secara berlahan ataupun sigap, apa kau musuh ku sehingga kau membenciku” Untuk ke dua kalinya sang pemuda merasa kecewa dan marah kepada pengusa hutan, ia kini mulai berjalan kembali menyusuri jalan hutan yang gelap hanya tercahayai oleh bulan yang sebentar lagi purnama, kadang kakinya tersangkut di antara pohon-pohon kecil dan ilalang yang tumbuh di situ. Saat berjalan pandanganya melayang pada cahanya yang kecil seperti titik bintang yang ia lihat jauh dari depanya, ia bergummam “mungkin ada kehidupan di sana” ia bergegas mengikuti arah cahanya itu menuju, kaki kurusnya sigap sekali berjalan dan arah matanya tak sedikitpun terlepas dari cahaya, sesaat cahaya itu hilang dan tampak kembali, semakin besar dan semakin terang sang leleki melihatnya, Ia kini berjalan mengenda-endap melihatnya, ia yakin bahwa ada kehidupan di sana tapi ia takut kalau-kalau itu adalah tempat di mana si penguasa hutan hidup, ia mengintip dari celah-celah dedaunan yang rimbun, tampak sekali puluhan orang sedang berpesta-pora, matanya tertuju pada satu pohon besar di tengah-tengah kerumunan orang-orang tersebut, tepat di depan pohon itu ia melihat lelaki hitam dan besar duduk, di kepalanya terdapat topi yang terbuat dari bulu-buluan dan dedaunan sepertinya ia adalah yang mengkomandoi seluruh orang-orang tersebut, di depannya terdapat seorang gadis yang cantik terikat di kayu dengan bersimbah darah, Sang lelaki teringat kisah dalam bibel yang mencerita kristus saat di salib “eli,eli,eli lamasabahtani”(tuhan,tuhan,tuhan jangan tinggalkan aku), sang gadis itu kini di bawa besarta kayunya di tancapkan dan di tinggalkan di belakang desa itu, Sang lelaki kini pergi dari situ dan menuju ke sebuah pohon yang tinggi, ia memanjatnya sampai di puncaknya, ia tak bosan melihat orang itu dengan rasa takut dan hati berdebar sampai matanya lelah dan akhirnya terdidur.
Aroma embun terasa sekali, dinginya menusuk penciuman, embun sudah mulai menguap, bangun dan berseluncur di antara pelepah dan dedaunan, pagi begitu dingin menusuk pori-pori sang lelaki hingga akhirnya ia terbangun karna tertangkap oleh sinar matahari, matanya masih terlihat menahan kantuk, ia menilik orang-orang yang semalam berpesta di bawah sana, tapi sudah tak ada hanya terlihat gubuk-gubuk yang tertutup oleh pelepah-pelepah pohon pinus dan gadis yang semalam masih terikat di tiang kayu. Jarinya membasuh raut mukanya dengan air embun yang sudah terbangun dan diminumnya air embun itu yang terdapat di selah-dedaunan. Ia tak habis fikir ada sebuah desa yang di dalamnya terdapat berbagi kekerasan semacam itu, menyiksa perempuan yang tak berdaya, lalu sejenak alam fikiranya tertuju pada si kucing hitam yang hilang dengan tiba-tiba, baginya si kucing adalah makluk yang saat itu menjadi teman dalam perjalanannya, pelindung dan penunjuk jalan hingga ia tiba di sini dan menadapati kehidupan. Bergegas ia turun dari situ dan mengendap-endap menuju kepada perempuan yang terikat, Keadaan daerah itu masih sepi belum satupun nyawa yang terbangun, saat sang lelaki mencoba menurunkanya gadis itu terbangun dan berkata dengan bahasa yang lirih, ia pun membekap mulut sang gadis yang masih lemah dan membawanya pergi dari situ, belum sampai ia keluar dari desa itu ia melihat bangkai sang kucing hitam dengan leher terpotong dan bersimbah darah, dengan air mata yang hendak menetes dan bibir yang hendak menangis bergegas ia pun membawa mayat si kucing hitam pergi dari desa bersama sang gadis yang ada di gendonganya. Sang lelaki sudah berada di anak sungai yang cukup jauh dari desa yang kejam itu, ia meletakan tubuh gadis bersender di batang pohon damar dan meminumkan sedikit air yang ia ambil dari anak sungai dengan tanganya, mereka berdua belum sedikitpun saling bicara dan bertanya hanya ada kebisuan diantara mereka, mayat si kucing hitam telah di kebumikan oleh sang lelaki itu di dalam lubang rumah binatang dan di tutupnya dengan batu dan tanah yang kering, dalam ingatanya ia masih mengenang temanya yang saat itu menemani ia kemana saja, ia juga tak menyangka akan seperti ini jadinya. Sang gadis masih terduduk lesu, dan lelaki itu menanyainya
“Wahai gadis apa yang hendak di lakukan mereka kepadamu”.
“Persembahan kepada pengusa hutan”(jawab gadis denagn lirih)
“Dan kau mau menerimanya”(Tanya sang lelaki)
“Sungguhpun mereka juga takut menghadapi kematian seperti aku, tapi inilah jalan sang kuwu untuk memberi penghormatan padanya setiap satu masa, dan darah kucing hitam itu adalah minummanya”
Tubuh lelaki itu bergetar, raut wajahnya memerah dan biji bola matanya terbuka lebar, dua tangkup giginya saling beradu, diapun berteriak keras “JAHANAM KAU PENGUSA HUTAN” Sang gadis melihatnya dengan keheranan dan sorot mata yang aneh.
Merka berdua berjalan menyusuri hutan dan meninggalkan daerah itu, di perjalanan mereka berdua sudah saling bertanya
“Wahai gadis siapa gerangan namamu”(Tanya sang lelaki kepada gadis)
“Belahan bumi yang ku injak ini mereka sudah mengenalku”
“Tapi aku adalah sang pengembara, arah saja aku tak tau apalagi namamu”
“Wahai kau pemuda aku adalah anak sang kuwu yang hendak membunuhku, namaku di ambil dari rimbunan kata-kata yang berubah menjadi makna dan namaku miney, dan engkau wahai pemuda siapa gerangan namamu”.
“Aku ada karnanya, aku di warisi sifat-sifatnya ia membekas dan ingin sekali hanya sifatnya yang ku punya, jiwaku di ambil atas dirinya, namanya kelak akan tetap ada dan aku akan musnah dan akulah soulah yang bermula dari rumah taman tuhan.
Di jalan mereka saling bertanya tanpa memikirkan akan ada bahaya yang setiap saat dapat melukai mereka baik dari depan atupun belakang. Sudah beberapa kilo mereka berjalan namun tak tampak rasa lelah di wajah, belum satu hari mereka bersama, mereka sudah di temukan oleh orang-orang desa miney. Orang-orang itupun mengejar mereka berdua hingga akhirnya miney dan soulah memutuskan diri untuk menjatuhkan dirinya di jurang yang di bawahnya terdapat air. Orang-orang utusan sang kuwu akhirnya hanya memandang mereka dari atas dan meninggalkanya. Di bawah Miney dan Soulah ternyata masih hidup, soulah sudah tampak di permukaan tapi ia tidak menemukan miney, ia lalu mencarinya tak beberapa lama kemudian tubuh miney mengambang di permukaan di seret air sungai, soulah mengejarnya dan mendapatkanya, tubuh miney di bawanya oleh soulah di tepi sungai itu, ia memukul-mukul perut miney agar air keluar dari mulutnya tapi hal itu tak membuat miney terbangun, dengan ragu akhirnya soulah memberi nafas buatan untuknya, sejenak ia melihat wajah miney yang cantik dan manis tapi ahirnya ia tepis segala apa yang ada di fikiranya itu. Berlahan ia membuka bibir miney lalu menyatukan dengan bibirnya sejenak lepaskan dan kembali seperti itu di sertai tiupan nafas ke dalam mulut miney, tak lama kemudian miney terbangun dan mendapati bibirnya berdekatan dengan bibir soulah. Miney lekas bangkit dan berkata keras kepada soulah.”Di tengah hutan ini tak ada mata yang melihat kecuali kita ber dua, langit tak akan berkelekar memandang engkau hendak menciumku, banyak piala-piala yang kutolak pemberian dari pemuda hanya untuk meminangku, kau menolongku hanya untuk menikmati tubuhku?atau hanya untuk kepuasan hatimu?”soulah kemudian menyela kata-kata miney,”Wahai aku hanya menolong mu”, Miney tampak sekali marah dan berkata keras, “Apa mesti mencuimku?” Soulah hanya terdiam mendapati pertanyaan seperti itu. Sudah hampir gelap mereka masih terdiam dan belum juga meninggalkan tempat itu, langit sudah tampak menguning, matahari sudah mulai tersorong oleh rembulan. Di depan wajah miney tubuh soulah berdiri dan menjulurkan tangannya sembari meminta maaf atas kejadian itu, awalnya miney hanya diam dan hendak memarahinya tapi akhirnya mereka berbaikan dan pergi dari situ dengan tangan saling bergandengan. Mereka menyiapkan alas untuk bermalam di sebuah gua yang tak terlalu dalam, miney sejenak sudah mulai berbaring dan soulah masih duduk dan melihat di luar
“Miney Jiwaku dan hatiku telah menahan ini hingga saat ini, aku punya rasa cinta yang megalir dari darimu kepadaku, dan rasa ini kini telah meluap dan hendak aku alirkan, maukah kau hidup berdampingan denganku”
Miney terdiam cukup lama , lalu hanya beberapa kata yang keluar dari mulutnya
“ Ya aku mau”(dengan menahan malu dan senyum)
Soulah begitu gembira mendengar jawaban miney, ia memeluk sang tambatan hatinya dengan erat dan dengan senyum yang lebar. Ia berlari dan berteriak menyusuri hutan dan sungai-sungai kecil seraya berpesta menyambut hari bahagia, ia mendekati miney dan di sambutnya soulah oleh miney dengan rona muka yang memerah, mereka saling memandang menatap tajam arah mata tak ada kata tak ada tawa hanya saat itu bibir soulah mengecup kening miney dengan lembut dan pelukan kecil yang membuat hangat tubuh miney. Di sisi lain ayah miney masih mencarinya ia utus bebearapa orang untuk mencari mereka berdua , miney dan soulah tak tau bahwa saat ini mereka masih di intai oleh utusan sang ayah. Karna hari sudah gelap mereka berdua kembali ke dalam gua yang gelap itu untuk memejamkan mata, di sisi lain para utusan rupanya sudah mengetahui persembunyian mereka. Pagi sudah tiba mereka sudah terlihat membuka mata setelah terlelap dari mimpi panjang, soulah berpamitan kepada miney untuk pergi berburu ikan di sungai belakang, di kecupnya lagi kening dan pipi miney sebelum dan ia pun pergi berburu. Soulah berjalan menuju anak sungai dengan tangan membawa tombak kayu, sudah tiga ikan ia dapati tanganya mulai menancapkan hasil tangkapanya di pucuk tombak kayunya, baru satu langkah ia hendak pulang di hadapanya sudah berdiri dua orang hitam utusan ayah miney tanpa fikir panjang mereka membunuh soulah dengan sumpit beracun. Miney masih menunggu sang kekasihnya pulang dari berburu, wajahnya kini terlihat begitu cantik raut mukanya begitu berseri. Tapak kaki terdengar miney dari luar dalam hatinya ia berkata “ini pasti tapak soulah” bergegas ia keluar dan ternyata ia mendapati tiga orang hitam lagi utusan ayahnya, mereka ber tiga mendekati miney untuk menangkapnya, miney tak diam saja ia berlari kedalam gua yang gelap tapi sang utusan pun kembali berlari dan mengejarnya hingga akhirnya meiney tertangkap dan di bawa kembali kedesanya. Di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar